Indonesia
SahabatDifabel
Thoughts
Menghapus Kasta Disabilitas
Doni dengan Ann Mulligan setelah bermain ski di Michigan. Sumber: dokumentasi pribadi |
Tinggal setahun di negeri seberang merupakan pengalaman yang mengubah karakter saya. A life-changing experience, kata banyak orang. Berkat program pertukaran pelajar yang saya ikuti tahun lalu, banyak sudah pintu – pintu perbedaan dan akulturasi yang saya masuki. Saya merasakan betapa berbedanya hidup di sana. Saya juga diberi kesempatan untuk mencicipi dua kalender akademik semester yang memberi perspektif baru tentang edukasi.
Kelas Sastra Bule
Sedari kecil saya sudah menaruh hati pada dunia
sastra dan bahasa. Dihadapan guru konseling Chilton High School, terbesit ide gila dalam
otak saya untuk mengambil pelajaran English
12. Pelajaran ini merupakan level tertinggi untuk kurikulum normal Amerika
yang setara dengan Bahasa Indonesia kelas XII di tanah air. Host family (orang tua asuh siswa
pertukaran pelajar) saya cukup dibuat khawatir dengan keputusan saya. Mereka
bilang sastra untuk foreigner itu
sulit. Dengan mengikuti saran untuk menjajal masa coba dua minggu saya ambil
kelas tersebut.
Hari pertama saya di kelas tersebut cukup
membuat saya tercengang. Banyak sekali perbedaan yang saya temui setelah
belasan tahun mengenyam pendidikan formal Indonesia. Pertama, saya dihadapkan dengan interpretasi akan sastra; bukan menebak
pilihan ganda atau mengisi isian rumpang. Kedua, saya berada di kelas dengan
satu siswa tuna netra dan satu siswa down syndrome. Mereka adalah Nolan dan
Amanda.
Nolan ini merupakan pribadi yang unik. Dia
adalah pemuda yang riang dan sangat bersemangat dalam berbagai bidang. Dia tergabung dalam tim Forensics,
klub sastra di Chilton High. Dia juga anggota aktif klub jurnalistik di sekolah
tersebut. Bersama Nolan dan delapan belas siswa lain saya belajar firsthand
tentang sastra para Bule tersebut. Tak genap tiga bulan, guru bahasa kami mengundang
saya dan Nolan ke ruang kelasnya. Mrs. Hyska namanya. Dengan berat hati, beliau
menyarankan kami untuk drop out dari kelas English 12. Saya cukup dibuat kaget
karena saya mera fine – fine saja selama mengikuti pelajaran beliau. Dengan
senyum geli, Mrs. Hyska meminta kami berdua untuk mengambil kelas AP English di semester dua.
Saya merasa sistem pendidikan yang saya hadapi
memberikan banyak akses untuk seorang foreigner
supaya dapat berkembang. Untuk Nolan yang tuna netra saja bisa, apalagi saya!
Kelas sastra baru yang saya jejaki tersebut merupakan kelas khusus untuk siswa senior yang
ingin mengambil kredit kuliah. Walaupun dijejali mata pelajaran setingkat pra-kuliah yang
cukup berat, saya mampu survive selama enam bulan dengan sembilan siswa lain. Di akhir tahun ajaran, saya dan Nolan mendapatkan nilai A di transkrip sekolah untuk mapel tersebut.
Nolan sering bercerita panjang lebar dengan saya
di saat kelas belum dimulai. Dia sering bertanya tentang kehidupan saya di
Indonesia, bagaimana sekolah saya, dsb. Di lain sisi, dia bercerita bahwa saat SD dia kehilangan
penglihatannya secara gradual. Dia lalu bercerita bagaimana negara memberikan
bantuan tutor dan pendamping di sekolah. Ya, sejak SD dia selalu dibawah
pengawasan pendamping yang sesekali datang ke kelas untuk mengecek keadaannya. Lalu, banyak sekali lomba yang dibuka untuk siswa penyandang disabilitas
seperti Special Olympics. Yang cukup membuat saya takjub adalah Nolan, sahabat
baru yang saya dapatkan di negeri seberang ini, ternyata telah mendapat beasiswa
di St. Norbert College, sebuah universitas bergengsi di Negara Bagian Wisconsin.
Wow!
Meradang di Negeri Asal
Tatkala saya kembali ke Indonesia awal Juli
lalu, saya dihadapkan dengan kelas XII yang sampai sekarang masih saya jalani. Saya mulai dari semester lima yang sengaja “dipercepat” untuk menampung materi semester
enam. Lucu juga jika harus membayangkan Nolan menempuh pendidikan di Indonesia.
Bagaimana cara dia mengerjakan ujian nasional - dan ribuan tes lainnya sebagai persiapan hari-H? Apakah dia harus berangkat jam enam
pagi dan pulang tepat sebelum Magrib setiap harinya seperti diriku? Apakah mungkin saya bisa sekelas lagi dengan
siswa penyandang disabilitas dan bertanding di level yang sama?
Sering saya kendarai motor kesayangan untuk
pulang pergi sekolah. Saya jumpai banyak perbedaan terlihat disepanjang mata
memandang. Sekembalinya saya dari Amerika, telah selesai pembangunan
mall besar di Magelang, kota saya merajut hidup. Banyak supermarket baru dan
bagunan publik lain yang didirikan. Parkirannya selalu penuh; sumpek. Motor
saja susah untuk mendapat parkir, apalagi mobil. Tidak ada lagi tempat parkir
untuk penyandang disabilitas yang biasa saya lihat hampir di setiap bangunan
yang didirikan di Amerika. Saya pun tidak bisa membayangkan bagaimana kesulitan
yang dihadapi banyak keluarga Indonesia
untuk mengakomodasi anggota keluarganya dari dan ke fasilitas publik. Apakah
saat tua nanti saya harus mengayuh kursi roda saya sejauh ratusan meter untuk
menjangkau fasilitas umum? Tak usah jauh – jauh mengambil contoh; kakek saya
terkadang menggunakan kursi roda karena kondisi fisiknya. Beliau pasti
akan menemukan masalah dengan anak tangga yang menjembatani banyak bangunan. Wah, sopo iki sing arep nggotong aku (trans: wah, siapa yang akan menggendong saya),
pikirnya pasti.
Masih berbicara tentang sistem parkir yang
kurang merangkul penyandang disabilitas , saya mendapati banyak instansi yang
masih mempertanyakan kepercayaannya pada wanita. Betapa tidak, banyak bangunan
yang menyisihkan lahan untuk dijadikan tempat parkir khusus wanita. Kata mereka
sih wanita tidak professional dalam parkir memarkir. Sebagai seorang pria, saya
sering bertanya dalam benak saya apakah kaum wanita tidak merasa malu atau marah tentang
stereotipe ini? Sepertinya kemampuan mereka dipatok lebih buruk dari kaum
difabel sehingga yang mendapatkan tempat parkir justru para wanita. Mungkin
saya juga harus berdandan layaknya wanita agar mampu parkir dengan nyaman saat
membawa kakek saya dengan kursi roda.
Parkir khusus wanita di Tangerang Sumber: antarafoto.com |
Lalu, dimana penyandang disabilitas yang biasa
saya jumpai di negeri seberang? Saya sempat mengira bahwa Indonesia adalah
negeri yang hampir sempurna. Jarang sekali ada anak dengan down syndrome bermain
di taman atau sekedar penyandang kekurangan fisik beraktivitas di tempat umum.
Saya telah telisik memang banyak kaum difabel yang tidak muncul di muka umum. Mereka
dikurung oleh stereotipe banyak orang bahwa kaum difabel tidak semestinya
bergerak bebas di masyarakat. Saya sedih melihat bagaimana sikap masyarakat
yang terkesan tidak familier dan antipati ini.
Kurangnya kesadaran ini juga dialami banyak
siswa – siswi di sekolah. Dengan entengnya mereka berkata “autis lo!”, “cacat mental lo!”,
dll kepada teman sebaya. Selama saya di Amerika, kami mempunyai beberapa kata
yang haram hukumnya untuk diucapakan sebagai olokan, seperti “retarded”
(keterbelakangan mental) dan autistic (autis). Sifat saling menghormati yang
warga Amerika punya didasarkan dari pengetahuan mereka yang luas akan kasus
ini.
Introspeksi dan Langkah Pasti
Yang bisa saya inferensikan dari tulisan saya
di atas adalah kesadaran masyarakat itu perlu. Masyarakat Indonesia memiliki stereotipe
yang kurang baik karena mereka jarang berinteraksi langsung dengan kaum
difabel. Saya berpendapat bahwa sudah saatnya pemerintah memperkenalkan kaum
difabel ke masyarakat. Selama ini hanya organisasi dan LSM tertentu saja yang
berkutat dalam "dunia disabilitas" ini. Walau peran mereka sangat menolong, tetap
dibutuhkan upaya resmi dari petinggi negeri untuk mengambil tindakan efektif.
Pertama, pemerintah sudah harus mencanangkan
kurikulum difabel di sekolah umum. Memang hal ini memerlukan banyak waktu dan
proses untuk bisa sampai diaplikasikan dalam dunia edukasi. Namun, alangkah baiknya
jika upaya tersebut dimulai dari sekarang. Mulai dari pendidikan dasar, kaum
difabel sudah harus mendapatkan posisi yang layak di bangku kelas. Pemerintah, utamanya dinas
pendidikan, juga harus menyediakan posisi bagi trainer dan “guru pendamping”
bagi siswa difabel di berbagai institusi pendidikan. Guru mata pelajaran pun juga diberi pengetahuan
tentang cara penanganan dan pengajaran kaum difabel selama mereka menempuh
pendidikan di bangku kuliah.
Sekolah adalah media sosialisasi utama anak
setelah keluarga. Menurut saya, karena alasan inilah kampanye peduli difabel harus
dimulai di sini. Saya ambil pengalaman pribadi saya untuk menjelaskan poin ini. Selama
saya bersekolah di Indonesia saya belum pernah bertemu dengan penyandang disabilitas di
sekolah. Ketika saya menempuh pendidikan di Amerika Serikat, saya bertemu tidak
hanya satu dua-melainkan belasan siswa difabel di sekolah. Awalnya saya merasa
aneh karena saya belum terbiasa. Namun setelah beberapa saat saya mulai merasa
nyaman dan mampu berinteraksi dengan mereka. Di sisi lain, penyandang
disabilitas juga menlakukan sosialisasi secara intens dengan bersekolah di
sekolah umum. Mereka belajar bagaimana kehidupan “normal” berjalan dan mempraktikkan
bagaimana komunikasi mampu menghubungkan banyak individu. Rasa “nyaman” dan “terbiasa”
ini lah yang perlu kita pupuk di negeri ini!
Peran masyarakat dan keluarga sangatlah penting dalam upaya ini. Keluarga harus bersikap legowo dan terbuka akan anggota
keluarganya yang mempunyai disabilitas. Sebagai contoh, akan saya ceritakan
kisah tentang host cousin saya. Namanya Ann. Dia merupakan anak terakhir dari
pasangan Alex dan Cathy, host uncle dan host aunt saya di Amerika. Saya sering
bertemu keluarga tersebut dalam berbagai event. Host family saya mempunyai
hobi travelling sehingga mereka sering membuat perjanjian dengan keluarganya
Ann untuk pergi ke suatu tempat. Waktu itu kami mengadakan hiking dan camping
di Glacier National Park, Montana. Waktu itu merupakan pertemuan pertama saya dengan
Ann. Saya cukup dibuat kaget dengan kemampuan fisiknya yang sangat tangguh
dalam hiking beberapa mil. Dia juga cekatan dalam melakukan segala aktivitas
dalam trip kami tersebut.
Di bulan Januari kami sekeluarga besar piknik
ke Michigan. Kami menginap di suatu resor yang khusus untuk olah raga ski.
Sebagai "anak kampung" yang baru pertama kali melihat salju, saya boleh dibilang
sangat payah dalam hal ski. Selalu saja jatuh, kalau meluncur sering kali kaki
tidak bisa saya kontrol sehingga berulang kali pantat saya menhujam perih ski trail. Pengalaman yang sungguh mengasyikkan. Saya
sempat dibuat jengkel ketika Ann dengan pedenya mengejek saya sambil berseluncur
dengan mudahnya. Masa sih saya bisa kalah dengan anak usia 13 tahun! Walau agak kesal, saya merasa geli juga dengan sikap Ann yang sangat lucu. Ann sendiri terkadang bersikap suportif memberi dukungan kepada saya untuk selalu berdiri lagi setelah jatuh. Saya
juga kagum dengannya. Walau mempunyai keterbatasan, dia mampu menunjukkan
betapa hebat dirinya di atas batang - batang ski.
Keluarga besar host family dengan ski di atas bukit Porkies. Biru: Ann, merah paling kanan: penulis. Sumber: dokumentasi pribadi. |
Usut punya usut, Ann ini mengidap down
syndrome. Banyak anak dengan penyakit ini lahir dengan keadaan “berbeda”.
Terkadang mempunyai jantung yang lemah, bentuk tubuh yang tidak proporsional,
dsb. Ann sendiri tidak mempunyai anus ketika lahir. Alex dan Cathy sangat
terpukul, namun mereka tetap survive dan bersikap legowo. Mereka rawat Ann sedari kecil dengan sabar dan penuh kasih sayang,
mengajarinya banyak hal. Tidak pernah mereka membedakannya dengan kedua kakak laki
– lakinya, Pat dan Bill. Di sekolah, Ann juga diberi dukungan oleh Alex dan Cathy untuk ikut
band dan banyak klub lain. Alex dan Cathy tidak malu untuk membawa Ann kemana
saja mereka pergi. Keduanya tak segan berkumpul dengan orang tua – orang tua
lain yang mempunyai anak dengan kebutuhan khusus. Malah dari hal itu kedua pasangan ini banyak berkenalan dengan banyak orang, saling sharing, dan mempu
mengadakan berbagai event untuk penyandang disabilitas seperti Ann.
Mengambil hikmah dari cerita tersebut, saya
yakin bahwa masyarakat Indonesia harus mempunyai rasa “menerima” dengan adanya
kaum difabel di lingkungan sekitar. Peran serta masyarakat dan keluarga akan
memberikan banyak sekali manfaat bagi penyandang disabilitas. Mereka akan
merasa “diorangkan”, mempunyai motivasi untuk bersosialiasi tanpa adanya embel –
embel “berbeda”. Masyarakat sendiri pun akan sangat diuntungkan dengan suasana
pluralitas yang lebih sehat dalam kehidupan sosial.
Menghapus Kasta Disabilitas
Stereotipe yang selama ini kita punya terhadap
kaum difabel harus segera dihentikan. Menghapus kasta disabilitas adalah
sesuatu yang sangat real dan sama sekali bukan impian utopis untuk dicapai. Baru –
baru ini pemerintah sudah hendak menghapus kasta “IPA” dan “IPS” di kurikulum
baru dan mengakulturasikannya dalam mapel – mapel lain. Fakta itu sebenarnya
merupakan harapan pasti bagi kita bahwa it is possible untuk menerapkan kurikulum
yang juga mampu mengakomodasi kaum difabel.
Saya yakin dengan tulisan ini akan semakin banyak orang mengerti pentingnya komunikasi langsung dengan para penyandang disabilitas. Bukankah hal ini adalah intisari "Aku dan Sahabat Disabilitasku"? Kita butuh sebuah ikhtisar yang menitikberatkan pada cara pandang baru untuk menjembatani gap antara masyarakat dengan para penyandang kebutuhan khusus. Kita perlu memecahkan stereotipe "kasta difabel" dalam masyarakat untuk merangkul lebih dekat banyak saudara kita yang kurang beruntung.
Saya yakin dengan tulisan ini akan semakin banyak orang mengerti pentingnya komunikasi langsung dengan para penyandang disabilitas. Bukankah hal ini adalah intisari "Aku dan Sahabat Disabilitasku"? Kita butuh sebuah ikhtisar yang menitikberatkan pada cara pandang baru untuk menjembatani gap antara masyarakat dengan para penyandang kebutuhan khusus. Kita perlu memecahkan stereotipe "kasta difabel" dalam masyarakat untuk merangkul lebih dekat banyak saudara kita yang kurang beruntung.
Konfusius pernah berkata bahwa sebuah perjalanan ribuan mil pasti dimulai dari satu tapak langkah kaki. Saya yakin semakin cepat kita melangkahkan kaki kita dalam upaya baik ini, semakin cepat pula Indonesia yang lebih plural akan
tergapai.
Doni Achsan
0 comments
leave your reply here