#WhatTheHellIsDoniDoingInEurope
Exchange
What It Feels to be a Leipziger
Halo semua!
Setelah sekian lama vakum, akhirnya saya bisa
menyempatkan lagi untuk menulis. Sometimes I wonder how wasteful my domain is
when I don’t write that much. So, here I am, a capitalist trying to make sure
that I did the right thing to save money (lol)
Di kesempatan kali ini saya ingin cerita mengenai apa
saja yang telah saya lakukan sebulan terakhir. By the way, saya belum cerita
nih kalau Alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa Erasmus+. Selama satu
semester kedepan saya akan menimba ilmu di Leipzig University, Jerman. Akhirnya
salah satu mimpi saya sejak kecil tercapai juga, yakni bisa menginjakkan kaki
di Eropa (selain transit di Bandara. I was in Frankfurt airport once and surely it didn’t
count!).
Sebulan ini bisa dibilang saya masih dalam tahap
adaptasi. Banyak cerita susah, tapi lebih banyak cerita bahagianya. Sedih karena harus
mengerjakan skripsi di negeri orang (which is very slow. God, this modelling
and simulation thing is quicker to do back home!). Without confessing too much
about my bachelor thesis, mari saya mulai cerita saya menjadi Leipziger sebulan
ini.
Saya sudah jatuh cinta dengan Leipzig, kota yang akan
menaungi saya sampai Agustus nanti. Pertama kali saya menginjakkan di
Hauptbahnhof (atau stasiun kereta) di Leipzig, saya sudah melongo dengan
arsitekturnya. Ketika saya keluar stasiun pun saya sudah bergumam “whoa, I am
going to love every second of living here” dalam hati.
Leipzig sendiri adalah kota terbesar di Saxony, salah
satu federal state (negara bagian federal) yang ada di Jerman. Seperti
Surabaya, banyak orang secara informal menyebut Leipzig dengan julukan “Kota
Pahlawan” (Heldenstadt). Hal ini dikarenakan pada tahun 1989 yang lalu Leipzig
menjadi pusat gerakan “Monday Demonstrations”. Setiap hari Senin, warga Leipzig
yang telah selesai mengikuti misa di Gereja Santo Nikolas (Nikolaikirche, atau
St. Nicholas Church. Kirche di sini artinya gereja, by the way) melakukan
demonstrasi menentang rezim Jerman Timur (Deutsche Demokratische Republik). Mereka
menyeruakan kebebasan untuk bepergian dan mendorong demokrasi diterapkan di
Jerman Timur, mengingat kata “demokrasi” dalam DDR tidak merepresentasikannya
sama sekali. Demokrasi ini terus membesar hingga 23 Oktober 1989 ada 320.000
datang. Demonstrasi ini menjadi kunci penentu jatuhnya rezim Jerman Timur dan
memiliki dampak langsung terhadap runtuhnya tembok Berlin.
Pintu Gerbang Barat Hauptbahnhof Leipzig |
Di dalam stasiun. Gede banget, cuy! |
Ketika
tiba di Leipzig, Alhamdulillah saya tidak sendirian. Ada Tyas (beasiswa Erasmus+,
sama seperti saya) dan Fela (beasiswa DAAD) dari UGM yang akan menemani saya selama Summer
Semester di sini. Sebenarnya kami sangat kebingungan saat sampai di stasiun,
dan entah mengapa suatu keajaiban terjadi. Ada seorang ibu berhijab hijau yang
menghampiri kami “Indonesia kan?”. Sontak kami tanggapi dengan jawaban
seirama “iya, Bu”. Tak disangka ia adalah seorang Warga Negara Indonesia yang sudah
bertahun-tahun tinggal di Leipzig. Namanya Bu Yuni, kebetulan akan menuju ke
Goethestrasse untuk naik bus ke Berlin. Beliau pun membantu kami menuju kantor
Auslandstudium Universitat Leipzig.
Selesai registrasi, kami langsung berbondong-bondong
menuju jalur trem yang tidak jauh dari sana. Sekali lagi ada orang berhati mulai yang
membantu. Dua mahasiswa Jerman yang sepertinya pasangan kekasih kasihan (whoa, the rhyme!) melihat kami terengah-engah mendorong koper kami. Mereka pun mengantar kami sampai ke depan tram. Pengalaman pertama naik tram? Well,
nyeremin. Soalnya kami tidak tahu bagaimana cara membayar tram yang sudah kami
tumpangi. Nekad betul! Untungnya ada beberapa pemuda yang mau
membantu Tyas untuk membeli tiket tram yang ternyata juga ada di dalam tram.
Keberuntungan sepertinya masih di pihak kami. Semenjak di
tram saya merasa bahwa orang yang berdiri di depan saya adalah orang Indonesia.
Dan ternyata benar! Marissa, mahasiswa PPI di sini, awalnya juga mengira kami
orang Indonesia. Ia mencuri pandang ke nametag koper saya. Mungkin karena nama
saya sedikit aneh (Risqika Edni Doni Achsan. Terima kasih bapak, mamah, atas
nama yang unik ini) Marissa tidak bisa menebak langsung apakah saya orang
Indonesia atau tidak. Setelah ia amati lagi, ia melihat logo Garuda Pancasila
yang tersemat di nametag. Yap, logo Garuda tersebut adalah peninggalan sejarah
saat saya menjadi delegasi Indonesia untuk PPAN 2016 ke Tiongkok. Langsung deh
Marissa menyapa kami!
Tidak hanya berbasa-basi, Marissa pun membantu mengurus housing kami! Ia juga menghubungi teman-teman PPI lainnya. Muncul
wajah-wajah baru seperti Munir dan Joanita yang tanpa pamrih membantu kami. Kami
datang tepat saat kantor housing akan tutup. Alhamdulillah kami pun bisa tidur di flat
tepat di hari yang sama dengan kedatangan kami. What a luck! Selesai membantu
kami dengan housing, Munir dan Marissa mengantar kami ke pusat perbelanjaan supermurah
Aldi (murahnya orang Jerman beda dengan orang Indonesia ya). Di sana kami
dibantu untuk membeli nomor ponsel seluler sekaligus megaktifkan paket data
internet. Yes, bisa Instagraman!
Me-Fela-Tyas, menunggu datangnya tram di tengah suhu dibawah 8 derajat celcius. Daymn |
Christine dulu pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama
setahun saat SMA ke Amerika Serikat. Ia merasa bahwa apa yang kami alami mirip seperti pengalamannya dulu di Amerika Serikat. Saya cukup kaget, mengingat saya
juga alumni pertukaran pelajar di negeri Paman Sam. Kami pun bertukar banyak
cerita sembari berada di Burgeramt. Christine ingin suami dan anak-anaknya terbuka
dengan dunia luar. Hampir setiap tahun ia sempatkan untuk mengunjungi keluarga
asuhnya di Amerika Serikat. Dari yang mulanya sendirian, tahun demi tahun
berganti sehingga suami dan anak-anak Christine pun ikut untuk mengunjungi
keluarga Christine “di seberang lautan”. Saya sungguh trenyuh mendengar cerita
Christine. Ingin sekali suatu saat nanti saya kembali ke Amerika Serikat,
setiap natal, tentu dengan membawa anak dan istri saya ke sana.
Enaknya menjadi Leipziger
Setelah dua minggu tinggal di Leipzig, saya sudah bisa
bilang kalau akhirnya … saya betah! Yang saya paling suka dari Leipzig adalah
tata kotanya yang luar biasa. Sebagai calon mahasiswa planologi (ya, coba baca tulisan
saya bertahun-tahun yang lalu), saya selalu punya keinginan untuk mendesain dan
mengoptimalkan lingkungan hidup orang banyak. Leipzig sendiri memiliki desain kota yang rapi. Selian itu, kota ini selalu bersih dan tidak awut-awutan layaknya kota-kota besar di Indonesia.
Salah satu sudut kota yang Indah. Di bawah lapangan ini ada jalur untuk menuju ke stasiun bawah tanah! |
Tram dan bus, moda transportasi utama di dalam leipzig, selalu datang tepat waktu –
a BIG YES untuk time freak seperti saya. Flat saya sendiri hanya berajarak 300m dari
tram stop terdekat. Perjalanan menuju kampus pun tidak sampai 10 menit.
Kerennya, di sini saya bisa menggunakan app bernama DB Navigator untuk bepergian. App ini merupakan trip
planner yang membantu sekali dalam mencari dan menentukan transportasi umum di
Leipzig (dan berlaku juga di seluruh Jerman!). Misal jam 10.45 saya mencari jalur kendaraan
dari tempat saya menuju Augustusplatz, maka app tersebut akan menampilkan
berbagai opsi kendaraan terdekat yang bisa saya pilih. Saya bisa mengetahui
bahwa tram dari Deutsche National Bibliothek pukul 11.57, dan bisa keluar dari
flat jam 11.50. Tidak perlu tuh ngetem lama untuk menunggu.
Selain transportasi yang nyaman, saya pun lebih sering
jalan kaki di sini. Tidak ada lagi sepeda motor yang biasa saya gunakan ke
Indomaret terdekat. Walau begitu, jalan kaki pun menjadi hal yang menyenangkan
di sini. Semua rapi, tidak kemrungsung. Pengemudi kendaraan sangat menghormati
pejalan kaki. Sudah ada setidaknya enam kali mobil yang berhenti ketika saya berada di
pinggir jalan. Sang pengemudi dengan ramah mengayunkan tangannya, mengode saya
untuk menyeberang duluan.
Makanan? Bisa lah buat survive. Saya membawa rice cooker
kecil dari Indonesia yang telah menyelamatkan nyawa saya beberapa kali. Di
dekat flat pun juga ada supermarket bernama Rewe. Lengkap dan relatif terjangkau, itu pendapat saya. Harga setengah kilo beras di
sini paling murah 0.45 EUR. Ayam sekilo 2.20 EUR. Daging burger (sapi giling)
400gr hanya 2.19 EUR. In some cases, banyak bahan makanan yang lebih murah
ketimbang di Indoensia! Saya biasa beli susu 1L seharga 1.11 EUR yang rasanya
lebih nancep dibanding susu-susu di Indonesia. Daging ikan fillet setengah kilo
hanya dihargai sekitar 1.5-3 EUR tergantung merek. Selain itu, ada juga keripik
kentang mirip Lays yang harganya hanya 0.69 EUR (hampir Rp. 10.000,00). Di
Indomaret Lays 68gr dihargai Rp. 10.500,00 per pak (duh, ketahuan ya sering
ngemil. Soalnya sampai hapal harganya hahaha). Keripik kentang versi Jerman
yang saya sebutkan sebelumnya di sini beratnya 200gr. Dengan harga sedikit
lebih murah, keripik kentang di sini ukurannya hampir tiga kali dari camilan
saya di Indonesia. THIS IS HEAVEN!
Untuk menggoreng saya biasa menggunakan minyak bunga
matahari. Lebih sehat, katanya. Alasan lainnya adalah susah sekali mencari
minyak kelapa sawit yang biasa dipakai di Indonesia. Kalau ada pun harganya sangat mahal. Oh ya, saya yang aslinya tidak
suka sambal pun menjadi keranjingan sambal di sini. Saya bawa 3 sambal Bu Rudi
yang setiap makan saya ambil sedikit. Paling banyak saya ambil setara 3 bulir
nasi (not that much, I know). Benar kata orang, sedikit sambal saja bisa bikin
nafsu makan saya meningkat drastis.
Selain itu, ternyata di sini mayonais dan kecap-kecapan
harganya sangat terjangkau. Satu botol besar mayonais isi bawang giling tidak
sampai 1 EUR. Mulai dari situ saya keranjingan masak nasi campur mayonais.
Gurihnya itu lho … hehehe. Oh iya, sebagai penggemar sayuran kelas berat, saya
mendapati bahwa sayuran di Jerman memiliki kadar gula lebih tinggi. Saya sudah
rebus kentang, kobis, wortel, dll dan semuanya sama – manis! Sebulan tinggal di
Jerman telah melipatgandakan kemampuan memasak saya hingga berkali lipat. Selain flat yang nyaman, flat saya pun dilengkapi dengan dapur yang memadai. Flat mate saya, Prav, memiliki peralatan memasak yang banyak lengkap dengan microwave. Karena alasan itu lah di sini hampir setiap hari saya masak. Selain lebih murah (kalau makan di luar minimal 5 EUR per porsi, kecuali di kantin universitas hanya 2 EUR). Mulai dari sandwich, ayam goreng, steak
sapi, rolade kentang, rolade bawang, orak-arik, lothek, sudah banyak menu yang saya jelajahi.
Biar bumbunya meresap. Nyam! Btw itu merah-merah adalah sambal bajaknya Bu Rudy lho! |
Dimasak 90% matang dengan microwave. Siap untuk digoreng! |
Ayam goreng bumbu Sambal Bu Rudy, Mantap engga tuh? Tapi saya sedih soalnya untuk masak in butuh 1/6 botol sambal. Next time dibumbuinnya SETELAH dimasak deh :') |
Kalau bosan masak? Gampang, bisa ke kantin kampus yang harganya terjangkau. Mall pun tidak jauh dari kampus. Saya dan Oza, teman baik saya (yang amat sangat lucu, baik hati, tidak congkak, dan rajin menabung despite lebatnya rambut yang menutupi tubuhnya) sering makan di salah satu Asian restaurant di Hofe am Bruhl, pusat perbelanjaan yang sekitar 10 menit jalan kaki dari kampus. Di sana kami membayar menu buffet (all you can eat. Bebas ambil sepuasnya!) sebesar EUR 6.99 per piring besar. Sebagai anak rantau yang miskin harta kekayaan, kami pun mengambil sebanyak mungkin untuk dimakan berdua. Kerennya, warga Jerman sepertinya tidak merasa terganggu dengan hal ini (beda dengan orang Indonesia yang mungkin akan mencibir. Ini di mall soalnya).
Trust me, ini view from top jadinya terlihat sedikit. Tapi sesungguhnya jika view from samping maka akan terlihat betapa tingginya gunung makanan ini :) |
Leipzig memilik banyak kesamaan dengan Chilton, tempat
saya tinggal selama setahun di Amerika Serikat. Bagaimana bisa jauh berbeda,
wong lebih dari lima puluh persen penduduk Chilton bernenek moyang orang Jerman
asli. Walau begitu, Leipzig adalah kota yang sangat besar. Tidak seramai
Berlin, Frankfurt, atau Munchen, namun tetap mampu menghipnotis orang yang
mengunjunginya dengan fasilitas yang mumpuni. Kota ini pun terkenal sebagai
kota Pendidikan, dimana Universitat Leipzig tempat saya menimba ilmu adalah
universitas tertua kedua di Jerman (dan salah satu universitas tertua di
dunia).
Since this post have likely turned into a 1700 words long
essay, I will definitely tell you more about studying here in Leipzig later! As
always, you can contact me in the comment section below or send me an email to doni.achsan@gmail.com. Looking forward
to sharing more stories of mine here in my personal blog!
Love from leipzig,
PS: you can search #whatthehellisdonidoingineurope in
Instagram to see crazy things I have done here in Germany ;)
3 comments
Demi apa ayam, nasi, dll murah banget! :(
ReplyDeleteThank you for the post! Wouldn't it be amazing if you share the learning environment in Leipzig? Telling how the class is conducted and how's the lecturer will be wonderful!
ReplyDeleteSebenarnya masih penasaran kalau disana susah nggak untuk mendapatkan makanan halal
ReplyDeleteleave your reply here