Buah Pena
Hobby
Smansa #13
Thoughts
Redup Binar Cahaya
Hi guys!
Jadi, seminggu yang lalu aku dapet tugas buat bikin cerpen Bahasa Indonesia. Bu Dahlia, pengampu mapel tersebut, menghendaki kami semua untuk membuat cerpen yang telah diberikan alur awalnya. Dan semua berasal dari kisah nyata yang dialami (maksudnya, didapat) oleh Bu Dahlia sendiri. Jadi, ada dua alur cerita yang ditawarkan;
1. Saudara sesusu - kisah nyata
Di sini, ada seorang perempuan yang menikah dengan seorang lelaki. Setelah sekian tahun menjalin cinta, keduanya dikarunia beberapa anak dan hidup dalam susana yang harmonis. Suatu ketika, datang kakak si perempuan dari Kalimantan, meminta perempuan ini bercerai dengan sang suami karena si suami adalah saudara sesusunya.
2. Cinta Terlarang (atau apa deh, terserah aja judulnya) - kisah nyata
Seorang gadis dari Jakarta jatuh cinta dengan kakak kelasnya saat dia melanjutkan kuliah di Semarang. Mereka berpacaran dan akhirnya si gadis ini hamil diluar nikah. Saat si laki - laki meminta restu orang tuanya untuk menikahi si gadis, terungkap fakta mengejutkan bahwa si gadis ini adalah adik kandungnya sendiri.
Oke, jujur ini agak tough. Ceritanya udah dibikin dasarnya dan kita harus ngembangin sesuai imajinasi kita. Dua hari yang lalu, mulai dari jam 9 malam, aku buat cerpen ini dengan perombakan habis - habisan.
Ya, aku bikin cerita horor.
Kemarin, kami di kelas harus maju untuk membacakan cerpen kami. Ada yang sad ending, ada pula yang happy ending. Terutama karya - karya temen - temen di kelas yang bener - bener keren dan menyayat hati (hahaha, ini repetisi katanya lebay amat ya?). Jadi ngerasa aneh nih buat bawain cerita horror.
Walau begitu, here we go! Enjoy this story - which gave my friend Dita a weird nightmare yesterday!
-------------------------------------------------------------------------------
Redup Binar Cahaya
Risqika Edni Doni Achsan/XII IA 1/23
Just a preview to the story. Credit; Google |
Malam ini, hilang sudah semua akal logikaku.
Aku lihat hujan bertambah deras menghujam
kulitku. Aku tak bergeming, tetap kulanjutkan langkah gontaiku. Bulan yang
biasa menemani malam – malamku pun enggan menunjukkan diri. Aku tahu, setelah
ini aku akan menemukan kebahagiaan. Semua orang boleh bilang aku gila, edan,
atau kata serapah lainnya. Toh, kata – kata mereka akan hilang ditelan bumi
setelah fajar menyinsing beberapa jam lagi.
Malam ini, ditemani setan alas dan seribu
malaikat maut, aku kan bawa diriku dan jasad Cahaya ke Ngarai Keabadian.
***
Tujuh tahun yang lalu, aku bertemu Cahaya di
suatu universitas negeri di Kota Semarang. Waktu itu aku semester lima, dan dia
baru saja menjadi mahasiswa baru fakultasku, Sastra Inggris. Sebagai salah satu
anggota BEM, sudah selayaknya aku turut serta dalam mengorientasi semua
mahasiswa baru angkatan itu.
Cahaya
tidak begitu cantik. Dia hanya manis, dan berbinar. Terutama matanya. Mungkin
ini aneh bagi kebanyakan orang, karena setiap kali aku menatap matanya, setiap
kali itu pula aku merasa teduh dan nyaman. Selama hampir sebulan, aku terus
menjalin komunikasi dengan Cahaya. Dia orang yang supel, aktif, dan ulet. Walau
begitu, dia selalu terlihat salah tingkah jika bertemu denganku. Sudah banyak
sekali teman yang mengatakan bahwa anak ini punya rasa kepadaku. Melihat
kesempatan, aku berusaha mendekatinya. Dari yang awalnya hanya mengobrol, kami
mulai sering bersama. Mulai dari sarapan bersama di Warung Bu Tati sampai
mengantarkannya pulang. Toh, kos kami hanya berjarak 30 meter rupanya.
Ketika aku mengungkapkan rasa cintaku padanya,
ia menerimanya. Aku pun resmi berpacaran dengannya. Hari – hariku dengan Cahaya
sungguh sangat menyenangkan. Sebagai anak tunggal, aku kadang merasa kesepian.
AKu juga bukan tipe orang yang suka menjalin hubungan. Tapi, Cahaya berbeda.
Dia seperti belahan jiwaku. Kami memiliki banyak kesamaan, mulai dari warna
favorit sampai tokoh kartun kesayangan. Hubungan kami pun mulai bertambah
serius.
***
Tak terasa hampir dua tahun kami telah menjalin
hubungan. Seminggu yang lalu, aku mendapati bahwa Cahaya berbadan dua. Aku
tidak syok lagi, apalagi mengetahui betapa intens hubungan kami berdua. Sudah
saatnya pula aku membawa Cahaya ke tempat orang tuaku. Papa dan mama tahu kalau
aku sedang berpacaran, namun mereka bukan tipe orang yang suka ikut campur.
Mereka pun baru bertemu Cahaya sekali atau dua kali selama ini. Dengan tekad
bulat, aku jemput Cahaya dari kosannya dan langsung melaju.
Sesampai di depan rumah, aku lihat mobil L300
silver. Om Tanto sedang mampir rupanya. Sejak aku masih kecil, Om Tanto yang
merupakan sahabat SMA papa sering datang ke rumah. Dia sudah aku anggap om
sendiri dan pernah membawaku keliling Jakarta, kota tempat tinggalnya, saat
keluargaku mengunjunginya sepuluh tahun yang lalu. Namun aku lihat gelagat aneh
dari Cahaya. Dia terlihat kaget, bingung, dan
enigmatis. Walau begitu, toh kami tetap masuk.
“Bapak? Kok bapak di sini?”
“Cahaya?”
Keduanya tampak kaget. Sebentar? Cahaya? Om
Tanto? Bapak? AKu lihat papa dan mama terbelalak luar biasa. Om Tanto langsung
membawa Cahaya ke halaman depan. Aku tunggu Om Tanto dan Cahaya dengan was –
was untuk kembali ke ruang tamu. Dengan berapi – api, aku dan Cahaya
menceritakan semua yang telah terjadi. Mumpung Om Tanto ada di sini, sekalian
pula aku nyatakan lamaranku untuk meminang putrinya. Semua terungkap lancar
dari mulutku sampai aku mengetahui kalau aku akan meminang adik kandungku
sendiri.
***
Aku dan Cahaya sekarang menetap di kawasan
Puncak, Jawa Barat. Kami berdua lari dari rumah dan memutuskan untuk hidup
bersama. Cahaya mengalami keguguran, dipaksa minum jamu peluruh oleh Ibunya.
Kami berdua sepakat untuk tidak memiliki anak lagi karena ikatan darah yang
kami jalin. Walau begitu, kami tidak bisa terpisahkan dan cinta kami tetap
berkobar dalam dada.
Aku bekerja di salah hotel sebagai resepsionis
sekaligus translator jika ada tamu asing di salah satu hotel di tempat ini.
Cahaya membuka warung dan terkadang bekerja sebagai tour guide musiman saat ada
turis asing yang datang ke Puncak. Hanya saja, Cahaya agak berubah. Dia menjadi
sangat paranoid jika mengingat tentang kedua orang tua kami. Terkadang, aku
mendengar dalam tidurnya ia mengigau “Ampun, Pak! Ampun, Bu!” sambil menangis.
Sepertinya luka psikologi yang dialaminya cukup berat. Binar mata Cahaya
terkadang meredup. Apalagi setiap kali ia lihat tetangga membawa anaknya
bermain, atau sekedar menyusui bayinya. Aku bisa lihat kehampaan dalam hatinya.
Sering ia bawa pulang anak – anak tetangga dan ia beri mereka makanan atau
snack yang dijual di warung. Aku biarkan dia, toh hal itu bisa membuat dirinya
bahagia, bukan?
Kehidupan kami berlangsung nyaman dan damai. Sampai
suatu siang keluarga kami berdua mendobrak pintu rumah dan berusaha membawa
lari Cahaya.
***
Jam lima sore aku sampai di depan rumah. Aku
lihat mobil Avanza merah dengan plat Semarang yang sangat familiar di benakku. Tak
sampai satu menit, aku langsung tahu kalau itu mobil Papa. Aku langsung masuk
rumah. Aku lihat kursi terbalik dan meja makan yang berserakan. Aku bisa lihat
ceceran darah di atas lantai. AKu panik, terhenyak. Keringat dingin mengucur
deras dari dahiku. AKu cek setiap ruangan dan tidak menemukan siapa pun. Sampai
satu ruang terakhir yang belum aku masuki, yaitu kamar mandi di belakang rumah.
Rumah kontrakan ini memiliki dua kamar mandi, satu di belakang rumah dan satu
lagi di atas atap, tempat kami mencuci baju dan juga menjemurnya. Pintu kamar
mandi belakang terkunci rapat. Samar – samar aku bisa mendengar sesuatu dari
balik pintu itu. Sangat samar, sangat membingungkan. Seperti suara desahan
nafas yang memburu bercampur sedu yang sengaja ditahan.
“Cahaya, kamu di dalam sayang?”
Tidak ada balasan. Aku ketuk dan tidak ada
respons. Aku berusaha buka dengan tanganku dan ternyata terkunci dari dalam.
Aku mematung. Aku bingung, aku takut, aku panik! Aku tak tahu harus berbuat
apa? Apa perlu aku dobrak? Iya, aku harus dobrak! Aku pun mendobrak pintu itu.
Dan, aku bisa lihat Cahaya dibawah remang cahaya senja yang masuk menyorot
mukanya. Matanya nanar, tapi hampa. Saat ia menyadari kehadiranku, ia langsung
berdiri. Matanya berbinar, antara perasaan senang dan ketakutan. Dia
menghampiriku, memelukku, dan menangis. Kami berdua langsung jatuh tersungkur.
Aku berusaha menenangkan Cahaya, memberinya belaian kasih dan ciuman hangat di
kening. Dengan gontai, aku bawa dia dan membaringkan tubuh kecilnya di kasur.
Aku kembali ke kamar mandi belakang, menutupnya dengan pelan dan menguncinya
dari luar. Aku berusaha untuk tidak mengindahkan ceceran darah dan potongan
tangan yang menyeruak dari bak mandi.
***
Cahaya berubah. Setiap hari ia mengurung diri
di dalam kamar. Ia tidak mau aku masuk ke kamarnya, dan memaksaku untuk tidur
di kamar tamu. Aku tidak bisa menolak. Aku hanya ingin dia bisa menenangkan
dirinya. Setiap harinya, kami berdua hanya menggunakan kamar mandi atas. Tak
sekalipun kami pernah membuka pintu kamar mandi belakang. Lewat di depannya
saja sudah sangat jarang. Terkadang, aku sering mendengar suara aneh dari
dalamnya. Seperti suara kuku yang digesekkan ke pintu, atau suara tangisan
banyak orang. Aku tidak peduli, aku tidak percaya dengan setan.
Mobil papa sudah aku jatuhkan ke salah satu jurang
di daerah Jawa Tengah, yang pasti tidak akan mudah ditemukan oleh orang. Lama
kelamaan Cahaya mulai pulih dan sanggup membuka warung seperti biasa. Walau
begitu, ia tetap ingin tidur sendiri. Aku iyakan, yang penting ia bisa lebih
tenang. AKu juga rutin membawanya ke psikolog di Bandung, walau biayanya mahal,
setidaknya ada progress yang terlihat dari dalam diri Cahaya.
***
Sebulan berlalu. Kampung dikagetkan dengan
hilangnya beberapa anak tetangga. Mereka telah hilang sejak sore hari
sebelumnya. Entah kenapa, aku mempunyai perasaan yang tidak mengenakkan akan
hal ini. Sesampainya aku di rumah, aku ingin mengecek keadaan Cahaya. Ia
hilang. Walau begitu, ada pesan di atas meja kalau dia sedang ke pasar, hendak
membeli persediaan untuk warung tulisnya. Susasana rumah yang sepi membuat bulu
kudukku berdiri. Aku merasakan hal yang sangat tidak beres tentang rumah ini.
AKu tahu ada yang disembunyikan Cahaya dariku. Aku ambil kunci darti dalam
almari dan menuju ke kamar Cahaya. Seperti dugaanku, terkunci rapat. AKu buka
pelan – pelan dan masuk ke dalam. Tidak ada yang aneh. Aku buka lemari pakaian,
tidak ada apa – apa. Aku cek kolong kasur. Dan isinya kosong.
Suatu malam, setelah sekian bulan, Cahaya
mengajakku untuk kembali tidur bersama. AKu terima ajakannya dengan riang
gembira. Jam sembilan kami berdua sudah di atas kasur, Cahaya terlelap, dan
mataku mengatup. Aku peluk Cahaya dengan kedua tanganku dan merengkuhnya,
memberikan kehangatan di malam dingin Puncak.
Tengah malam, aku terbangun. Samar – samar aku
mendengar suara aneh. Suara hujan. Dan juga tangisan. Iya, tangisan! Aku
langsung sadar seratus persen dan turun dari kasur. ISak tangis itu berasal
dari luar kamar. Aku keluar, dalam gelap, kususuri asal suara itu. Seperti
ditarik intuisi, kakiku berjalan pasti ke arah belakang rumah. Nafasku memburu.
Tidak, ini tidak mungkin! Suara isak tangis itu berasal dari dalam kamar mandi
belakang!
Semua terasa sangat jelas sekarang. Tanpa
dikomando, aku dobrak pintu tersebut. Aku mendapati kamar mandi tersebut terang
di sorot cahaya bulan dari ventilasi. Dan, tergeletak tiga tubuh kecil,
meregang tanpa daya, dengan mata terbuka dan lidah menjulur keluar. Dalam
kesunyian itu, aku mendengar deru tangis yang luar biasa dari ketiga tubuh
kecil nan pucat itu. Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan!
“Mas, anak – anak kita nakal Mas. Mereka bilang
aku pembunuh kakek neneknya. Mas tidak apa – apa kan kalau aku beri mereka
hukuman kecil?”
Tubuhku menegang. DI belakangku, ada Cahaya
dengan suara seraknya, menghujam nuraniku. Aku membalikkan badanku, melihat dia
membawa pisau dapur. Ya Tuhan!
“Mas, kok nakal banget sih gak tidur malem ini.
Aku hukum boleh ya?”
Dengan cepat, ia menghujamkan pisau itu ke arah
dadaku. Refleks, aku menghindar dan setidaknya membuat pisau itu meleset,
menggores dalam pinggangku. Darah pun mengucur deras. Aku mendorong tubuhnya
dan berlari menjauh. Ia mengejarku. Aku buak pintu belakang dan berlari ke a ah
hutan. Di tengah malam, di bawah rintik hujan ini, kami berkejaran dalam remang
kabut Puncak yang dingin. AKu terengah, aku takut! AKu masih bisa mendengar
derap lari Cahaya. Aku sembunyikan diriku di balik pohon pinus, sambil berusaha
menutup lukaku dengan tanganku. AKu atur nafasku, aku tak ingin ia tahu lokasi
persembunyian ini.
“Mas, jangan lari mas! AKu tahu mas sembunyi di
sini! Aku akan telusuri semua pohon di sini!”
Sial! Sampai di sini juga dia! AKu sudah tidak
bisa bergerak lagi. Sepertinya, luka fisik dan psikis yang aku alami cukup
untuk membuatku paralisis. Aku pasrah, aku terima jika aku harus mati malam
ini. Tapi, sebelum itu, aku pastikan agar akar permasalahan ini aku musnahkan.
“Nah, ketemu kamu mas!”
Aku bisa lihat Cahaya berlari ke arahku. Dengan
cepat ia hujamkan pisaunya ke dadaku. Dan di saat itu pula aku hujamkan batang
kayu pinus ke kepalanya. Sekali, dua kali, tiga kali, puluhan kali sampai
nafasnya tiada lagi.
***
Hujan telah reda. Aku bisa lihat rembulan
bersinar kembali dengan cantiknya. Dengan langkah gontai dan darah yang
mengucur deras dari dada, sampailah aku di sebuah sungai tepat di ngarai lembah
Puncak. Di seberang, aku lihat keempat orang tua kami dan ketiga anak tersebut
tersenyum kecil ke arahku. Dengan jasad Cahaya di atas kedua tanganku, aku
terjunkan kedua tubuh kami ke riak air yang mengalir tenang ke hilir.
5 comments
Don sumpah ini sesuatu banget. I felt like holding my breath for the last quarter of the story.
ReplyDeleteHahahaha makasih nadhila!
ReplyDeleteHow's life? :D
kak don, kata-katamu keren ^^b
ReplyDeletengeri..
tapi beberapa part ada yang kurang penjelasan ^^v
hahahaha iya dek ini sih cerpen ngebut 2jam-an. wkwkwkwkwkwk
ReplyDeletehah? 2 jam aja keren lho kak
ReplyDeleteleave your reply here